Selasa, 22 Juni 2010

Dibalik Jatuhnya Kerajaan Pajajaran

Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 panggung sejarah di tanah Jawa berubah oleh oleh dua fenomena menarik. Yakni melemahnya dan memudarnya kerajaan-kerajaan lama yang bercirikan Hindu-Budha. Pada sisi lain, muncul Islam sebagai kekuatan politik baru yang semakin menunjukkan pengaruh yang kian membesar. Pasca jatuhnya Majapahit (1527), kerajaan Hindu yang tersisa adalah Pajajaran (Bogor) dan Blambangan (Pasuruan). Inilah fenomena dibalik jatuhnya Kerajaan Pajajaran.

Setelah Majapahit jatuh sekitar tahun 1527, di Pulau Jawa hanya terdapat dua kerajaan Hindu yang masih tersisa, yaitu Kerajaan Pajajaran - yang ibukotanya terletak di sekitar Kota Bogor sekarang dan Kerajaan Blambangan di Pasuruan. Dan setelah Kerajaan Blambangan ditaklukkan oleh Demak (1546), maka tinggallah Kerajaan Pajajaran menjadi satu-satunya kerajaan Hindu yang masih berdiri.

Kekuatan Islam

Pada saat yang sama, kekuatan Islam mulai tumbuh. Melihat hal itu sebagai bahaya yang dapat mengancam eksistensinya, Kerajaan Pajajaran berupaya mengantisipasi dengan menerapkan dua macam kebijakan. Pertama, berusaha membatasi pedagang-pedagang Islam yang mengunjungi pelabuhan-pelabuhan yang berada di wilayah kekuasaan Pajajaran. Kedua, mengadakan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Portugis yang berkedudukan di Malaka. Hubungan persahabatan ini dimaksudkan agar Portugis dapat membantu Pajajaran apabila Kesultanan Demak menyerangnya.

Penguasaan Malaka oleh Portugis (1511), ditambah dengan sifat¬sifat ambisiusnya untuk memonopoli semua perdagangan rempah-¬rempah dari Nusantara dan sikapnya yang memusuhi orang-orang Islam, menimbulkan kebencian dan permusuhan dari para pedagang, khususnya pedagang muslim. Hal ini mengakibatkan mereka tidak mau melewati dan singgah di Malaka.

Akhirnya, dengan melalui alur pelayaran yang sulit, para pedagang dari India, Persia, Arab, dan lainnya dapat berhubungan dengan pusat-pusat perdagangan di Jawa melalui Selat Sunda setelah sebelumnya melewati Aceh Barat, Barus, Singkel, Padang Pariaman, dan Salida. Dengan demikian, kedudukan Banten sebagai pelabuhan clan vasal Pajajaran menjadi sangat penting clan ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing. Kondisi ini pada gilirannya telah menjadikan Banten semakin terbuka, termasuk dalam hal penerimaan mereka terhadap Islam.

Kerajaan Demak

Pada sisi lain, perjanjian persahabatan antara Pajajaran dengan Portugis mendapat tanggapan tidak simpatik dari Banten, yang sudah banyak menerima kehadiran Islam, sehingga kesetiaan Banten terhadap Pajajaran semakin menipis. Hal yang sama ditunjukkan pula oleh Demak. la menilai bahwa dengan masuknya Portugis ke Pulau Jawa akan berakibat fatal bagi kemerdekaan Nusantara secara keseluruhan, sehingga peristiwa persahabatan Pajajaran-Portugis telah memperbesar hasrat Demak untuk menguasai Pajajaran.

Guna melumpuhkan kekuasaan Pajajaran, Demak tidak langsung melakukan serangan frontal ke pusat kekuasaannya, tetapi terlebih dahulu harus menguasai Banten. Strategi ini diambil dengan pertimbangan bahwa secara sosio-psikologis, masyarakat Banten yang terbuka dan sudah cenderung menerima kehadiran Islam, ditambah dengan kebencian mereka terhadap Pajajaran yang telah berkolusi dengan Portugis, akan mempermudah Demak untuk menanamkan pengaruhnya, lebih-lebih bila melalui pendekatan emosi keagamaan.

Secara geografis-ekonomis, Banten, sebagai kota pelabuhan dan pangkalan strategis di Jawa Barat, merupakan akses dan aset yang sangat berarti bagi Pajajaran, seperti halnya Sunda Kelapa. Dengan dikuasainya Banten berarti salah satu sumber daya dan sumber dana Pajajaran sudah dikuasai.

Dalam upaya menguasai Banten, Raja Demak, Sultan Trenggana, mengutus Sunan Gunung Jati beserta sejumlah pasukan perang Demak sekitar 1524-1525 untuk menyerangnya. Tidak diberitahukan terjadinya perlawanan yang berarti, malah yang terjadi penguasa Banten menerima kehadiran Sunan Gunung Jati dan pasukannya serta membantu proses Islamisasi. Perkembangan selanjutnya, Sunan Gunung Jati berhasil mengambil alih pemerintahan kota pelabuhan tersebut.

Setelah kota pelabuhan Banten berhasil dikuasai, langkah berikutnya, dalam upaya melaksanakan strategi global mengislamkan Jawa Barat, adalah menyerang Sunda Kelapa, sebuah kota pelabuhan utama yang penting dan ramai yang dimiliki Pajajaran. Perebutan kota ini berlangsung cukup sengit karena letaknya yang tidak jauh dari ibukota Kerajaan Pajajaran.

Sebagai petunjuk bahwa perebutan kota ini sangat penting bagi agama Islam, setetah berhasil direbutnya, kota ini diberi nama baru, Jayakarta atau Surakarta. Keduanya nama-nama Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti jaya dan makmur. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1527.

Ada kisah lucu pasca jatuhnya Pajajaran. Orang-orang Portugis tiba-tiba datang untuk mendirikan kantor dagang dan benteng berdasarkan perjanjian yang diadakannya pada tahun 1522 dengan Sang Hyang dari Pajajaran. Mereka tidak tahu bila kota itu telah diduduki oleh orang-¬orang Islam. Tentu saja kedatangan mereka ditolak dengan kekuatan senjata oleh penguasa baru yang telah beragama Islam. Merekapun mundur.

Penaklukan Banten dan Sunda Kelapa mempunyai arti penting bagi Kesultanan Demak karena beberapa alasan. Pertama, dengan ditaklukannya Banten dan Sunda Kelapa akan memudahkan penaklukan Pajajaran. Kedua, Banten dapat dijadikan tempat strategis bagi penyerangan pantai selatan Sumatra, Lampung, dan Palembang yang penduduknya masih animis yang kaya cengkih dan lada.

Lalu ketiga, dengan dikuasainya jalur pantai Jawa Barat, yaitu Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon berakhirlah kekhawatiran Demak atas orang-orang Portugis di Pulau Jawa. Dan keempat, Banten dapat dijadikan pusat penyebaran Islam untuk penduduk di Jawa Barat dan sebagian Sumatera.

Ambisi Demak untuk menaklukan Pajajaran tidak sempat menjadi kenyataan, karena dengan meninggalnya Sultan Trenggana (1546) Demak menjadi lemah. Pemerintahan pengganti, Susuhunan Prawata (1546-1549), dan seterusnya merupakan anti klimaks terhadap kejayaan raja yang mendahuluinya, Sultan Trenggana, yang sebagai raja Islam telah memerintah sebagian besar Pulau Jawa.

Kondisi ini telah dimanfaatkan oleh Sultan Hasanudin (1552-1570), penguasa Banten kedua yang menggantikan ayahnya, Sunan Gunung Jati, yang pindah ke Cirebon (1552) untuk memerdekakan Banten lepas dari kekuasaan Demak. Dengan demikian, wilayah kekuasaan Banten di Pulau Jawa pada masa Hasanudin meliputi Banten dan Jayakarta, sedangkan di luar Pulau Jawa meliputi Lampung dan Bengkulu.

Serangan Banten

Sepeninggal Hasanudin (1570), kesultanan Banten dipimpin oleh Yusuf (1570-1580). Hasrat untuk menaklukan kerajaan Pajajaran menjadi kenyataan pada masa pemerintahannya. Keberhasilan Banten menguasai Paiajaran (1597) merupakan perwujudan dari cita-¬cita lama, yakni sejak Demak memegang hegemoni atas Jawa pada masa Sultan Trenggana (1504-1546), kemudian dilanjutkan oleh Banten sebagai asal Demak pada masa Sunan Gunung Jahi (1525¬1552), dan Banten merdeka pada masa Hasanudin dan Yusuf.

Menurut sumber tradisi, penyerangan Banten ke Pajajaran itu sedikitnya terjadi tiga gelombang besar. Pertama, pada masa Pajajaran di bawah pemerintahan Ratu Dewan Buana (1535-1534), dilakukan oleh Sunan Gunung Jati; kedua, pada masa pemerintahan Nilakendra (1551-1567), dilakukan oleh Hasanudin; dan ketiga, pada masa Pajajaran diperintah oleh Ragamulya (1567-1579), dilakukan oleh Yusuf.

Kenyataan itu mengisyaratkan betapa kuatnya Pajajaran, dalam kondisi yang teralienasi selama kurang lebih setengah abad, baik secara ideologi, ekonomi, maupun keamanan masih menunjukkan kemampuan perlawanannya. Bahkan, menurut sumber tradisi pula, kemenangan Banten atas Pajajaran itu dimungkinkan oleh pengkhianatan pegawai Pajajaran itu sendiri. Sesudah kota kerajaan jatuh, raja beserta keluarganya "menghilang". Sementara itu seluruh kerajaanya dihancurkan dan penduduknya dibunuh atau diusir.

Dengan jatuhnya Pajajaran, maka lenyaplah kerajaan besar terakhir yang menganut Hindu di Jawa. Ini pun berarti bahwa wilayah kekuasaan Banten dengan sendirinya meluas ditambah dengan bekas wilayah yang ditaklukannya. Namun kenyataannya tidak semua bekas wilayah kekuasaan Pajajaran dikuasai Banten, tetapi daerah itu dibagi dalam dua bagian dengan Karawang sebagai batas.

Bagian sebelah barat untuk Banten dan bagian sebelah timur untuk Cirebon. Pembagian ini dimungkinkan mengingat ada hubungan geneologis antara penguasa Banten dan Cirebon, juga baik secara langsung maupun tidak, Cirebon telah turut membantu, paling tidak, dalam memperlemah kondisi Pajajaran.

Setelah ibukota kerajaan ditaklukkan, tampaknya penguasa Banten tidak tertarik untuk melibatkan daerah itu dalam berbagai aktivitas kesuitanan. Hal ini, boleh jadi, disebabkan karena secara geografis wilayah bekas ibukota Pajajaran yang di pedalaman dianggap kurang strategis bagi aktivitas (khususnya perekonornian) Kesultanan Banten yang bercorak maritim.

Di samping itu, sumber daya manusianya pun, terutama yang bersedia masuk Islam, kemungkinan lebih banyak direkrut bagi kepentingan pembentukan dan memperkuat tentara Banten, karena pemindahan penduduk dari daerah yang ditaklukkan ke wilayah pihak yang menang kadang-¬kadang merupakan salah satu tujuan perang.

Kekuatan Banten

Menjelang abad ke-17 terjadi beberapa pergeseran dan perubahan pola serta tata kekuatan politik dan ekonomi di Jawa khususnya dan di wilayah Nusantara umumnya. Munculnya Mataram sebagai pemenang hegemoni, menggantikan posisi Demak, yang senantiasa berupaya memperluas wilayah pengaruh ke kerajaan¬kerajaan di sekitarnya dan berkeinginan agar kerajaan-kerajaan itu menjadi vasal-vasal yang mengakui suzereinitasnya, menambah maraknya percaturan politik di Jawa. Tidak terkecuali Banten; kesultanan ini pun termasuk wilayah sasaran jangkauan semangat ekspansi Mataram. Bahkan Banten pernah beberapa kali diserang, namun gagal.

Yang terjadi malah sebaliknya, politik iuar negeri Mataram yang disemangati oleh spirit ekspansionismenya, secara tidak langsung, telah turut memberi andil dalam memperbesar peranan Banten sebagai pusat perdagangan yang menonjol. Banten dijadikan salah satu tempat pelarian para pedagang dari pesisir Jawa Tengah dan Timur yang berusaha menghindari cengkraman Mataram.

Penghancuran kota-kota pelabuhan pesisir Jawa Tengah dan Timur oleh Mataram itu pun membuat pergeseran dalam jaringan perdagangan dan rute pelayaran di Nusantara. Kalau selama abad ke-16 rute yang ditempuh ialah Maluku-Makasar-Selat Sunda. Sehubungan dengan perubahan itu, maka kedudukan Banten bertambah penting dan strategis. Politik ekspansi Mataram pun telah mempengaruhi pola aliansi, dalam arti "dengan siapa suatu kelompok harus bergabung dan dalam rangka menghadapi kelompok mana".

Jejak Kerajaan Sunda & Galuh

Dalam catatannya, Tome Pires (1513) menyebut Kerajaan Sunda terletak dua hari perjalanan dari Pelabuhan Kalapa yang terletak di muara Ciliwung. Sunda sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Prasasti yang di Bogor banyak berhubungan dengan Kerajaan Sunda pecahan Tarumanagara, sedangkan yang di daerah Sukabumi berhubungan dengan Kerajaan Sunda sampai masa Sri Jayabupati. Inilah jejak-jejak kerajaan Sunda dan Galuh.

Nama Sunda sebagai kerajaan seperti tersurat dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi terdiri atas 40 baris. Sehingga memerlukan empat buah batu untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Cicatih di daerah Cibadak. Tiga ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan D 98.

Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte), bila diterjemahkan berbunyi : “Selamat. Dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir. Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat oleh Sri Jayabupati Raja Sunda.

“Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.”

Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda ini, lengkapnya tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja. Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup dengan kalimat seruan, "I wruhhanta kamung hyang kabeh" (Ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).

Kehadiran Prasasti Jayabupati di daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada bagian sungai (Cicatih) yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidakmenunjukkan letak Ibukota Tarumanagara.

Tanggal pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun (952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan corak Jawa Timur. Tidak hanya huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.

Kerajaan Sunda

Telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara. Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Cina yang menyebutkan bahwa utusan Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M. Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada Raja Cina dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal 18 Mei 669 M.

Tarusbawa yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan keharuman jaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh, untuk memisahkan negaranya dari kekuasaan Tarusbawa.

Karena Putera Mahkota Galuh berjodoh dengan Parwati puteri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga, Jawa Tengah, maka dengan dukungan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara dipecah menjadi duakerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.

Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, seperti yang sudah diungkapkan dibagian sebelumnya, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cakalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.

Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda II. Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya.

Sebagai ahli waris Kalingga ia kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi Mataram dalam tahun 732 M. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, Tamperan atau Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.

Tarusbawa adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga. Tokoh ini adalah tokoh Sanna, ayah Sanjaya dalam Prasasti Canggal (732 M). Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M.

Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang Gurusempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya, Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara Mandiminyak dengan istri Sempakwaja.

Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak atas tahta Galuh. Lagipula asal-usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena.

Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan perebutan tahta Galuh. Sena melarikan diri ke Kalingga, ke kerajaan nenek isterinya, Maharani Simma. Sanjaya, anak Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga Pubasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.

Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama segelintir pasukan.

Patih itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahiyang Kidul, yang tak bisa menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia. Balangantrang bersembunyi di kampung Gegegr Sunten dan dengan diam-diam menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora menjatuhkan Sena.

Sanjaya mendapat pesan dari ayahnya, Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga Keraton Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya. Setelah berhasil mengalahkanPurbasora, ia segera menghubungi uwaknya, Sempakwaja, di Galunggung dan meminta beliau agar Demunawan, adik Purbasora, direstui menjadi Penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk melenyapkan Demunawan.

Sanjaya sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan pemerintahan di Galuh ia menganngkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami agama dan bertapa sejak muda. Ia dijuluki Bagawat Sajalajaya.

Raja Galuh

Penunjukan Premana oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu, isterinya, Naganingrum, adalah cucu Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua Wretikandayun.
Pasangan Premana dan Naganingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718 M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.

Untuk mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan, Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada, Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh.

Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan tua yang harus dihormatinya.

Kedudukan Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa alias Banga (723 M).

Skandal itu terjadi karena beberapa alasan. Pertama, Pangrenyep pengantin baru berusia 19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa. Kedua, keduanya berusia sebaya dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja Tarusbawa. Ketiga, mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi. Untuk menghapus jejak, Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.

Dalam tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Medang dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resiguru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resiguru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.

Demikianlah Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun 732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.

Sesuai dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan sianghari bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.

Kudeta itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Sanjaya berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan Pangrenyep dari tahanan.

Akan tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhirdengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan Pangrenyep.

Berita kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Medang yang kemudian dengan pasukan besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.

Dibagi Dua

Perang besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Rajaresi Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun739 ini, Sunda dan Galuh yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali. Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.

Untuk memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari, adik Kancanawangi.

Naskah tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang merdeka. Ia harus berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagi raja bawahan Galuh. Ia memerintah 27 tahun lamanya (739 - 766).

Manarah di Galuh memerintah sampai tahun 783. Ia dikaruniai umur panjang. Dalam tahun tersebut ia melakukan manurajasuniya, mengundurkan diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat, dan baru wafat tahun 798 dalam usia 80 tahun.

Dalam naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini dikacaukan. Tidak saja dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua. Tapi, juga dalam penempatan mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak dalam naskah Carita Waruga Guru yang ditulis pada pertengahan abad 18.

Kekeliruan paling menyolok dalam babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat. Kekalutan itu dapat dibandingkan dengan kisah pertemuan Walangsungsang dengan Sayidina Ali yang masa hidupnya berselisih 8 1/2 abad.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852 M kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh keturunan Banga sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton: Sunda -Galuh-Kuningan (Saunggalah).

Sri Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Darmawangsa, adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Dan Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Darmawangsa. Gelar itulah yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.

Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Darmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan" Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini.

Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta (disimpan di sana) disebut pralaya itu terjadi tahun 1019 M. Di bawah ini adalah urutan Raja-raja Sunda sampai Sri Jaya Bupati yang berjumlah 20 orang, yakni Maharaja Tarusbawa (669 - 723 M),
Sanjaya Harisdarma, cucu-menantu no. 1 (723-732 M), Tamperan Barmawijaya (732-739 M), Rakeyan Banga (739-766 M), Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M), Prabu Gilingwesi, menantu no. 5 (783-795 M), Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6 (795-819 M), Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M), Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M), Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).

Kemudian Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M), Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11 (916-942 M), Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M), Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M), Prabu Munding Ganawirya (964-973 M), Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M), Prabu Brajawisesa (989-1012 M), Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M), Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M), dan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M ). Kecuali Tarusbawa, Banga dan Darmeswara, yang hanya berkuasa di kawasan sebelah barat Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan Galuh.

Batu Tulis Ciaruteun


Batu besar dengan berat delapan ton itu nampak kokoh sekali bernaung dibawah cungkup. Sepasang "pandatala" (tapak kaki) nampak tercetak jelas pada bagian atasnya dihiasi dengan sederet prasati berhuruf Palawa dan berbahasa Sangsekerta. Konon tapak kaki tersebut adalah bekas tapak kaki Maharaja Purnawarman yang memimpin dan menguasai kerajaan Tarumanegara.


Prasasti Ciaruteun dengan sepasang tapak kaki dan tulisan dalam bahasa Sangsekerta yang tercetak diatasnya

Dari informasi yang diberikan oleh juru kunci lokasi tersebut, bahwa pada awalnya letak batu tersebut adalah di pinggiran sungai yang terletak kurang lebih 100 meter di bawah lokasi dimana batu prasasti tersebut berada saat ini. Dan pada tahun 1981 batu itu diangkat dan diletakkan di bawah cungkup seperti apa yang terlihat sekarang. Karena lokasi awal batu tersebut di tepi Sungai Ciaruteun, maka batu tersebut dikenal dengan nama Prasasti Ciaruten.

Prasasti Ciaruteun ditulis dalam bentuk puisi 4 baris, berbunyi "vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam". Yang dapat diartikan sebagai "Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara".
Prasasti Kebun Kopi (Tapak Gajah) yang pada awal masa penemuannya terletak di areal perkebunan kopi

Tak jauh dari lokasi ini terdapat pula tiga situs lainnya yakni Prasasti Kebun Kopi (S006.52774 E106.69037), Situs Congklak (S006.52661 E106.69022) dan Prasasti Batutulis (S006.52328 E106.69109).


Prasasti Kebun Kopi dinamakan demikian karena prasasti ini diitemukan di kebun kopi milik Jonathan Rig, dibuat sekitar 400 Masehi (H Kern 1917). Prasasti ini dikenal pula dengan Prasasti Tapak Gajah karena terdapat cetakan sepasang kaki gajah beserta juga sebuah prasasti yang berbunyi "jayavis halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam" (Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa). Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguasa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan I Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah.

Berbeda dengan kedua prasasti diatas, pada situs Batu Congklak penulis sama sekali tidak menemukan artikel-artikel terkait yang menjelaskannya. Pada situs Batu Congklak ini juga tidak terdapat sebuah prasasti apapun. Pemberian nama Batu Congklak untuk situs ini disebabkan batu-batu yang ada disana meiliki cekungan mirip dengan permainan congklak yang telah lazim dikenal masayrakat. Di situs ini pula tidak terdapat cungkup yang menaunginya, sehingga praktis akan terkena sinar matahari dan hujan secara langsung.

Sekitar 300 meter dari situs Batu Congklak ke arah Utara, menyusuri kebun singkong dan jalan setapak di tepi sungai, terdapat prasasti Batu Tulis. Ukuran prasasti ini paling besar dibandingkan dengan ketiga prasasti lainnya, dan bagian bawahnya masih terendam aliran sungai. Ukurannya yang cukup besar dan tentunya mempunyai bobot yang lebih berat ini pulalah yang mungkin menjadi alasan mengapa prasati ini tidak dipindahkan ke lokasi yang lebih memadai. Sederet tulisan dalam bahasa Sangsekerta juga terlihat cukup jelas pada batu ini, namun sayang sekali tidak ada literatur yang menjelaskan maknanya


Batu berdiri yang terletak disisi batu congklak yang mirip tempat duduk

Secara keseluruhan Prasasati Ciaruteun, merupakan objek wisata mengandung nilai sejarah yang cukup menarik untuk dikunjungi. Hanya saja untuk mencapainya, pengunjung harus berjalan kaki kurang lebih 1,5 kilometer dari jalan raya atau dapat pula menggunakan fasilitas ojek yang tersedia. Tidak adanya areal parkir yang memadai bagi kendaraan roda empat juga menjadi kendala, karena praktis kendaraan yang parkir akan menyita badan jalan dan cukup membahayakan dikarenakan lokasi parkir tersebut dekat dengan tikungan jalan.

Bogor Kota Petir


Selama ini masyarakat mengenal kota Bogor dengan sebutan Kota Hujan. Namun siapa sangka Kota Bogor selain dijuluki sebagai Kota Hujan, ternyata mendapat julukan baru sebagai Kota Petir. Dalam sehari, kota itu mendapat sambaran petir hingga 322 kali yang normalnya hanya 80 kali, ini tercatat dalam Guinness Book of World Record.
Menurut pengamatan Kepala Stasiun Klimatologi BMKG Bogor Endang Suprapti, seringnya Bogor yang dijuluki Kota Hujan dihujani petir, karena daerah ini berada pada kelembaban udara yang ideal untuk terjadinya petir. Kelembaban udara rata-rata 85 persen dengan suhu rata-rata udara maksimum 32,7 derajat celsius yang mana suhu udara harian adalah 25,5 derajat celsius. Ini berpotensi menimbulkan berkumpulnya awan cumulonimbus (cb). Dengan suhu udara sebesar 32,7 derajat celsius, radiasi matahari yang memanasi permukaan bumi menimbulkan gerakan massa udara vertikal yang memisahkan muatan listrik negatif dan positif di dalam awan cb sehingga menyebabkan timbulnya suara petir.

Sementara itu Dr Istiqlal Amin dari Balai Agroklimat dan Hidrologi Bogor menambahkan, penyebab lain tingginya frekuensi petir di wilayah Bogor adalah keberadaan Gunung Salak dan Pangrango. Kedua gunung tersebut mengalihkan awan yang menuju Bogor ke ketinggian yang potensial menimbulkan petir. Saat mencapai ketinggian potensial ini, di dalamnya kemudian terjadi pemisahan listrik negatif dan positif.

Menurut BMKG Kota Bogor, frekuensi petir yang melanda kota ini tergolong luar biasa. Dari tahun 1991 sampai 2008, rata-rata petir terjadi 215 hari per tahun. Lebih besar dibanding Brasil, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan, masing-masing 140, 100, 60 hari per tahun. Dengan catatan tersebut, dua pertiga dari total hari dalam setahun, kota Bogor dihujani petir. Dari 2004 hingga 2008, petir tertinggi dalam satu bulan sebanyak 13.056 kali pada bulan April 2007 dan 10.363 kali pada bulan November 2006. Dalam sehari misalnya puncak frekuensi tertinggi dalam sehari, petir terjadi pada 6 April 2007 dan 17 November 2006 masing-masing dengan jumlah 1.555 kali dan 1.151 kali dalam sehari.

Masih belum lepas dari ingatan kita, Jemadi (40) dan Sumini (42) warga Jakarta Barat meninggal akibat sengatan listrik bertegangan tinggi yang disebabkan oleh petir saat berada di Kebun Raya Bogor. Dan akibat serangan petir pula, pada 2004 sepasang kekasih ditemukan tewas, yang diduga diakibatkan petir menyambar ranting pohon besar lalu jatuh menimpa pasangan yang berada di bawah pohon hingga tewas.

Menurut para ilmuwan, petir terjadi akibat perbedaan kandungan ion positif yang ada di awan dengan ion negatif yang ada di dalam bumi. Ketika hujan akan turun biasanya diawali awan tebal yang mengandung banyak uap air. Di dalamnya banyak sekali pasangan ion positif dan ion negatif. Sehingga melalui proses kimia dalam awan tebal, ion positif yang dihasilkan melebihi ion negatifnya, maka ion positif tersebut mencari ion negatif yang ada di bumi.

Perpindahan ion positif dari angkasa ini, menyebabkan terjadinya loncatan ion positif ke bumi dan disebut kilatan petir. Menurut Dr Karel kecepatannya bisa mencapai 300 kali lipat dari kecepatan peluru senapan. Berdasarkan perhitungan para ilmuwan, ketika tengah terjadi pergolakan udara pada atmosfir, dalam setiap detik kilatan petir akan terjadi ratusan kali tabrakan listrik yang mengenai bumi dan molekul-molekul serta atom-atom udara yang terbentuk oleh peristiwa ini akan mengirim bahan-bahan penguat untuk tumbuhan.

Melihat besarnya ancaman kerusakan yang ditimbulkan petir tesebut, Pemerintah Kota/Kabupaten Bogor, mengeluarkan Perda No 7/2006, agar bangunan gedung mensyaratkan pemasangan penangkal petir bagi yang melebihi ketinggian tertentu. Namun, karena mahalnya pemasangan penangkal anti petir ini, hal itu belum dapat dilakukan. Satu unit penangkal petir untuk mengamankan wilayah radius 1,5 kilometer membutuhkan biaya Rp 70 juta. Dengan luas wilayah Kota Bogor yang mencapai 119 km2 menghabiskan biaya Rp 5,5 miliar.

Melihat frekuensi petir yang sering terjadi, Dr Istiqlal Amin mengatakan, di samping pemerintah mencari solusi yang diakibatkan petir, pemerintah kota setempat mencari pemanfaatan potensi dari energi petir. Energi listrik yang dihasilkan oleh petir bisa mencapai daya yang dihasilkan dari semua pembangkit yang ada di Amerika Serikat.

Sedangkan suhu yang dihasilkan bisa mencapai 10.000 derajat Celcius. Bila dibandingkan dengan suhu peleburan di dapur tanur tinggi antara 1.050 dan 1.100 derajat celcius, berarti suhu yang dihasilkan petir 10 kali lipatnya. Dan bila dibandingkan dengan suhu permukaan matahari 700.000 derajat Celcius, berarti suhu petir adalah 1/70 dari suhu permukaan matahari. Begitu juga dengan cahaya yang dihasilkan petir bisa lebih terang dari cahaya 10 juta bola lampu pijar berdaya 100 watt.

Melihat letak geografis yang berada di daerah khatulistiwa dengan iklim tropis yang memiliki kelembaban dan suhu yang cukup, Indonesia sangat berpotensi menjaring banyak petir. Oleh sebab itu, ada baiknya pemerintah mendorong para ilmuwan untuk melakukan penelitian lebih lanjut, siapa tahu bisa dijadikan sebagai sumber energi pembangkit listrik.

Misteri Gunung Salak


Gunung Salak memang tidak setinggi Gunung Gede, tetangganya. Namun tingkat kesulitan yang dimiliki Gunung Salak begitu angker untuk didaki. Termasuk keberadaan Kawah Ratu yang ada di wilayahnyaGunung Salak dapat didaki dari beberapa jalur, yakni jalur Wana Wisata Cangkuang Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Wana Wisata Curug Pilung, Cimelati, Pasir Rengit dan Ciawi. Belum lagi jalur-jalur tidak resmi yang dibuka para pendaki ataupun masyarakat sekitar.

Banyaknya jalur menuju puncak Gunung Salak dan saling bersimpangan tentu membingungkan para pendaki. Banyak diantaranya yang kemudian tersasar dan menghilang.

Banyaknya jalur pendakian banyak pula mitos atau kisah yang menyelimuti Gunung Salak. Selain kawasan ini dianggap suci bagi kalangan masyarakat Sunda wiwitan karena dianggap sebagai tempat terakhir Prabu Siliwangi.

Lokasi ini ternyata juga disebut banyak menyimpan harta karun peninggalan Belanda. Harta itu berupa emas murni yang dimasukan di dalam peti. Dan peti-peti itu kemudian dikubur di empat titik terpisah di area Gunung Salak.

Harta tersebut sengaja di kubur VOC, karena takut diambil tentara Jepang yang masuk ke Indonesia 1942. “Mereka (VOC) takut emas-emas yang mereka kumpulkan direbut Jepang yang waktu itu berusaha mengusir Belanda dari Indonesia,” ujar tokoh masyarakat Cidahu, Sukabumi.

Setelah sukses menguburnya, mereka kemudian membuat peta penunjuk arah yang disertai tanda-tanda fisik lokasi. Waktu itu VOC berharap ketika mereka datang lagi ke Indonesia harta yang disimpan bisa diambil kembali.

Tapi kenyataanya setelah Jepang keluar, Indonesia kemudian merdeka tahun 1945. Akhirnya serdadu Belanda dan VOC tidak bisa masuk lagi ke Indonesia. Tentu saja harta-harta yang dikubur itu tidak bisa diambil kembali.

Kabar tentang adanya harta timbunan itu di Gunung Salak sempat beredar tahun 1953. Waktu itu, sejumlah warga Cidahu mendengar kalau harta karun itu di kubur di wilayah kaki Gunung Salak tersebut. Info yang mereka terima tanda fisik tempat penyimpanan harta itu adalah tembok yang tebalnya 120 centimeter persegi.

Ada lagi yang mengatakan kalau disekitar Kawah Ratu ada juga harta yang ditimbun. Alhasil, karena kabar tersebut, hampir seluruh warga Cidahu beramai-ramai mencarinya. Setiap ada tembok sisa peninggalan Belanda mereka hancurkan. Dalam beberapa bulan, tembok sisa pembatas perkebunan milik Belanda dengan penduduk pribumi saat itu, langsung ludes menjadi puing.

Sementara warga yang coba mencari harta itu di sekitar Kawah Ratu banyak yang tewas karena menghadapi medan yang berat di Gunung Salak. Arwah-arwah inilah yang kabarnya bergentayangan di sekitar Kawah Ratu.

Kini kabar harta itu kemudian muncul kembali pertengahan 2006 lalu. Bajari saat sedang menunggu warung miliknya, didatangi tiga pria. Mereka mengaku berasal dari Jakarta. Bahkan salah satu diantaranya mengaku salah seorang cucu soekarno dari Guntur, anak sulung Soekarno.

Tiga pria itu menanyakan tentang beberapa tanda fisik, yang katanya tempat penyimpanan harta karun yang sempat menghebohkan warga Cidahu 1953 lalu. Tanda-tanda fisik yang tertera di peta adalah berupa aliran sungai, pohon bambu, pohon damar dan sebuah tembok berukuran 120 centimeter persegi.

Namun oleh Bajari dikatakan tanda-tanda yang tertera di peta sudah tidak ada lagi. Ukuran wilayah yang tertera di peta tersebut juga sudah banyak yang bergeser sehingga sulit untuk melacaknya.

Menurut pengakuannya Bajari di sekitar Gunung Salak memang banyak harta yang ditanam oleh para pengusaha asal Belanda yang kabur sebelum pendudukan Jepang ke Indonesia. Alhasil kisah emas VOC membuat Gunung Salak semakin misterius.

Kebun Raya Bogor


Kebun Raya Bogor tak hanya dikunjungi pelancong yang ingin melihat koleksi ribuan jenis flora. Namun ada sebagian kecil pengunjung yang punya tujuan lain. Yakni ziarah ke makam Eyang Ratu Galuh. Letaknya di salah satu sudut Kebun Raya Bogor.Kebun Raya Bogor tak hanya dikunjungi pelancong yang ingin melihat koleksi ribuan jenis flora. Namun ada sebagian kecil pengunjung yang punya tujuan lain. Yakni ziarah ke makam Eyang Ratu Galuh. Letaknya di salah satu sudut Kebun Raya Bogor.

Dengan dikelilingi gunung hijau, udara sejuk dan curah hujan yang cukup tinggi, Bogor memang sangat memungkinkan untuk mempunyai sebuah hutan kota. Kebun Raya Bogor termasuk kawa¬san pembudidayaan aneka jenis flora yang usianya cukup tua di dunia. Di balik keindahannya, tak banyak orang tahu jika di kebun seluas 87 hektar ini ternyata terdapat situs sebuah kerajaan yang sampai saat ini masih sangat misterius.

Memang, kebanyakan orang yang datang ke Kebun Raya Bogor, hanya sekedar untuk rekreasi dan melepas penat dari rutinitas kerja sehari-hari. Akan tetapi, hanya sedikit yang tahu bila di kebun yang angker ini ternyata terdapat makam Ratu Galuh, raja besar yang sangat berpengaruh ketika kerajaan Galuh Pakuan masih berdiri kokoh pada zamannya.



Kejadian aneh

Menurut Abdurahman (45), juru kunci makam Ratu Galuh, banyak orang hilir mudik di Kebun Raya, bahkan di sekitar makam Ratu Galuh itu sendiri. Mereka tak menyadari jika tempat yang mereka pijak adalah wilayah keramat dari kerajaan Galuh Pakuan. Mereka hura-hura, pacaran, bahkan buang air kecil di sembarang tempat. Belum lagi perlakuan semberono lainnya.

Abdurahman menceritakan, pernah salah seorang pengujung tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri dan ketika siuman suaranya berubah. Kebun Raya Bogor memang bukan tempat sembarangan. Kawasan itu masih dinaungi karomah Eyang Ratu Galuh. "Ternyata dia kemasukan dedemit penjaga jembatan gantung,” kata Abdurrahman.

Memang banyak pengunjung mengalami kejadian aneh yang sulit diterima oleh akal sehat. Beberapa waktu lalu, dua orang muda-mudi sedang asyik ber¬cumbu di bawah pohon waru besar. Sang pria pamit untuk buang air kecil, namun ketika kembali ia tak menemukan kekasihnya. Bahkan setelah ditunggu berjam-¬jam sang kekasih itu tak pula kunjung datang. Karena putus asa, lelaki yang bernama Abidin itu langsung pulang.

Esok harinya, dengan keluarganya dan keluarga pacarnya ia kembali mencari-cari ke setiap pelosok kebun tersebut. Hasilnya tetap nihil, bahkan saat itu aparat keamanan Kebun Raya pun ikut membantu mencari gadis yang hilang tadi. Sayang, hingga hari men¬jelang sore sang gadis-tetap tidak diketahui di mana rimbanya. Lalu seorang aparat keamana berinisiatif minta bantuan juru kunci makam Ratu Galuh. Setelah diselidiki sang juru kunci, gadis yang sebut saja bernama Nita itu, ternyata masih ada di sekitar Kebun Raya.

Dari hasil komunikasi juru kunci dengan makhluk gaib penghuni Kebun Raya diketahui, ternyata Abidin dan Nita, beberapa saat sebelum Nita menghilang keduanya sempat melakukan perbuatan tidak senonoh. Mereka sempat melaku¬kan hubungam layaknya suami isteri. Dengan sangat menyesal, Abidin menga¬kui segala perbuatannya. Melalui proses yang cukup rumit, akhirnya juru kunci pun mempersilahkan mereka kembali.

"Jika penghuni gaib itu, meng¬ampuni perlakuan kalian, Nita akan kembali besok sore. Namun jika tidak Nita akan menjadi budak di alam gaib," tutur Abdurahman.
Kebun Raya Bogor memang me¬nyimpan sejuta misteri, beberapa tempat angker di sana masih dihuni makhluk halus sebagai tempat tinggal mereka.

Syukur, nasib Nita masih beruntung. Setelah empat hari raib ia kembali terlihat di areal Kebun Raya. Namun kondisi Nita saat itu sangat mengkhawatirkan, ia seperti orang kehilangan akal. Tertawa cekikian seperti kuntilanak dan kadang menangis tersedu seperti orang sakit hati. Akhirnya Nita dikembalikan pada keluarganya.

Jangan sembrono

Abdurahman menyarankan agar pengunjung Kebun Raya tidak sembrono dan jangan sekali¬-kali berlaku tidak senonoh. Kalaupun kelakuan tak senonoh itu tidak diketahui orang lain, namun hal itu tetap diketahui makhluk halus penghuni Kebun Raya ini. "Kebun ini dibangun sebagai tempat rekreasi dan istirahat keluarga. Kalau pun mau pacar¬an silahkan, tapi jangan kelewatan," tuturnya.

Masih menurut penuturan Abdu¬rahman, kerajaan makhluk halus peng¬huni Kebun Raya Bogor khususnya dan seluruh kota Bogor umumnya sebe¬narnya terpusat di makam Ratu Galuh. Dalam sejarah tak tertulis Kerajaan Galuh Pakuan, Ratu Galuh dipercaya sebagai permaisuri Eyang Prabu Siliwangi. Sayang, tak secuilpun catatan tersimpan yang dapat membuktikan eksistensi Ratu Galuh sebagai isteri Sang Prabu Sili¬wangi. Bahkan keberadaan sang prabu sendiri masih menjadi pertanyaan di masyarakat. Namun demikian toh masya¬rakat Jawa Barat (Sunda-Red.) tetap mengakui eksisteni Prabu Siliwangi sebagai raja dan cikal bakal nenek moyang mereka.

Bahkan, beberapa kalangan spiritu¬alis meyakini, Kebun Raya Bogor semula adalah Taman Sipatahunan, Taman Sari dari kerajaan Galuh Pakuan. Seiring dengan hancurnya kerajaan itu, mereka seakan ingin meninggalkan bukti kepada para penerusnya, bahwa di tanah itu pernah ada suatu kerajaan yang besar dan berjaya. Oleh karena itu jangan heran, jika pada bulan-bulan tertentu banyak para sepuh yang datang ke Kebun Raya Bogor untuk mengambil air Sipatahunan, air kehidupan yang diya¬kini hanya keluar sekali dalam setahun.

Masjid Keramat Empang Bogor


Kawasan Empang Kota Bogor Selatan, pada setiap tahunnya selalu dibanjiri para peziarah yang datang dari berbagai pelosok tanah air, bahkan mancanegara. Empang menjadi terkenal karena di lokasi itu berdiri Masjid Keramat An Nur yang lokasinya tepat di Jalan Lolongok.Di Kompleks Masjid An Nur itulah, Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas di makamkan, bersama dengan makam anak-anaknya yaitu Al Habib Mukhsin Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Zen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Husen Bin Abdullah Al Athas, Al Habib Abu Bakar Bin Abdullah Al Athas, Sarifah Nur Binti Abdullah Al Athas, dan makam murid kesayangannya yaitu Al Habib Habib Alwi Bin Muhammad Bin Tohir.

Para penziarah datang ke Masjid Keramat setiap bulan Maulid, Rajab, dan menjelang akhir bulan Suci Ramadhan. (Likuran-red) Apalagi setiap memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, sekaligus digelar haul Al Habib Abdullah Bin Muhsin Al Athas, para penziarah datang dari berbagai tanah air dan Mancanagera antara lain Singapura, Malaysia, dan dari berbagai belahan Negara Timur Tengah.


Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, bertepatan dengan “Haul” (temu tahun-red) Al Habib Abdullah Bin Mukhsin Al Athas, warga Empang selalu menyambutnya dengan berbagai kegiatan. Hampir semua rumah penduduk di sekitar Masjid Keramat di hias, seperti halnya akan melakukan hajatan. Apa yang dilakukan warga untuk menghormati para tamu yang datang ke Empang untuk berziarah ke makam Habib Abdullah Bin Muhsin Al Athos. Karena sesuai dengan wasiat Al Habib Abdullah harus membuka pintu kepada para tamunya. Puluhan bahkan ratusan ekor Kambing di potong untuk menjamu para tamu maupun para penziarah. Makanan khas yang menjadi hidangannya adalah nasi kebuli (Nasi dicampur dengan daging kambing).

Umi Fatmah salah satu keturunan dari Habib Abdullah yang dihubungi di kediamananya, Senin (31/3) mengatakan, hidangan nasi kebuli yang disajikan pada setiap peringatan maulid di Empang sudah menjadi ciri khas setiap tahunnya. “ Setiap tamu yang hadir ke Empang akan di jamu dengan nasi kebuli, “ ujarnya.

Menurut dia, nasi kebuli akan disajikan kepada tamu-tamu yang datang dengan tampi, dimana setiap tampinya dimakan rame-rame antara 5 sampai 7 orang. “Konon katanya nasi kebuli awalnya sudah ada sejak zaman Waliyullah Syeh Abdul Qodir Zaelani,” kata Umi Fatmah